Perkembangan konsep dan Teori New
Governance dan perubahan sistem pemerintahan yang demokratis.
a. Pendekatan
partisipatif menjadi idola dalam proses formulasi kebijakan.
Partisipasi
adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang dianjurkan
oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance,
yakni korelasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat
kekuasaan kewenngan dan kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi
barang-barang (sumber daya) publik pada masyarakat. Sedangkan di dalam
masyarakat terdapat hak sipil dan hak politik, kekuatan masa dan kebutuhan
hidup, dan lain-lain. Dengan demikian partisipasi adalah jembatan penghubung
antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan
kesejahteraan dan human well being.
Dari
sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan partisipasi sangat dibutuhkan untuk
membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap
kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi menabur pemerintahan yang otoriter
dan korup, dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan, atau
penguatan peran. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk
kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal,
mengefektifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.
Makna
subtantif yang berikutnya adalah kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan
komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita
mengenal kontrol internal (self-control)
dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja menyangkut kapasitas
masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi
dan resiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan masyarakat melakukan
penilaian secara kritis dan reflektif terhadap resiko-resiko atas tindakan
mereka.
Selain
itu, pendekatan partisipasi mencakup dengar pendapat terbuka secara ekstensif
dengan sejumlah besar warga negara yang mempunyai kepedulian. Oleh karena itu,
pendekatan ini lebih merupakan preskripsi untuk desain atau redesain kebijakan
atau sebagai suatu pendekatan empirik untuk memahami pembentukan kebijakan
atauoun implementasinya.
a.
Dilema atau
problema dalam pendekatan partisipasi pada proses kebijakan.
1)
Dilema ukuran, berarti keadaan administrasi negara modern
begitu besar dan kompleks. Keterlibatan warga langsung harus
mengakomododir berbagai kelompok dan individu. Demokrasi langsung dirumuskan
untuk kelompok-kelompok kecil bertemu tatap muka dan operasi di ruang publik
yang relatif terbatas.
2)
Dilema kelompok yang dikecualikan atau tertindas, berarti
ada beberapa kelompok warga yang dikeluarkan secara sistematis dari demokrasi
perwakilan.
3)
Dilema risiko. Banyak teknologi yang kompleks
menimbulkan bahaya besar dan resiko terhadap individu, masyarakat, daerah, atau
bahkan untuk seluruh planet.
4)
Dilema teknologi dan keahlian. Warga merasa sulit
untuk bersaing dengan profesional dalam hal pengetahuan, informasi, dan
keahlian (Drysek dan Torgerson, 1993). Elite administratif dan teknis
menggeser kedua warga negara dan wakil-wakil mereka dalam proses partisipatif.
5)
Dilema waktu dan krisis. Kita berada di era krisis
mempercepat, keputusan sering harus diambil dengan cepat tanpa melibatkan
banyak orang.
6)
Dilema kebaikan bersama. Penyertaan langsung mungkin
tidak benar-benar mencerminkan kepentingan umum. Kepentingan umum
tergantung pada musyawarah bukan hanya jaminan kesetaraan politik atau
penangkapan opini publik melalui jajak pendapat terbaru.
b.
Lima kondisi
yang menentukan partisipasi masyarakat menurut Ventris (2001)
Komunitas, (ukuran, tingkat pendidikan, distribusi penduduk) apabila
dikaitkan dengan kenyataan di Indonesia, maka faktor-faktor tesebut memang
sangat berpengaruh. Karakteristik masyarakat kita yang sangat variatif (ada
yang sudah maju, ada yang belum, ada yang telah terdidik, ada yang masih banyak
buta huruf, ada masyarakat yang berbudaya terbuka sementara ada yang tertutup,
ada yang melarang tidak boleh protes, tidak boleh berbicara terbuka,dan lain
sebagainya). Belum lagi letak fisik atau geografis yang berjauhan seperti
kepulauan yang terpencil, keterbatasan alat transportasi, dan sarana
komunikasi, tentu memakan biaya yang tidak sedikit. Semua ini jelas menghambat
proses partisipasi murni. Karena itu, tidak mengherankan kalau ada daerah yang
lebih mudah melaksanakan partisipasi sementara yang lain sebaliknya.
Kompleksitas politik memang merupakan salah satu faktor penentu
yang sangat penting. Dominasi partai tertentu seringkali “memobilisasi” massa
sebagai wujud partisipasi untuk memenangkan keputusan tertentu bagi golongan
tertentu. Banyak pengalaman kita di masa Orde Baru bahkan sampai saat ini juga
masih nampak munculnya bentuk partisipasi mobilisasi tersebut. Dominisasi
seperti ini telah mempersulit keterwakilan dalam proses partisipasi.
Aspek ekonomi politik yang muncul antara pihak pemerintah dengan
masyarakat sering terjadi. Pemerintah sering mendominasi keputusan dengan
berbagai alasan, dan mengenyampingkan suara masyarakat dengan berbagai alasan
pula. Keterbatasan waktu, biaya, informasi, data, dan tenaga dari pihak
pemerintah sering dipakai sebagai alasan utama untuk menolak partisipasi
masyarakat, sementara masyarakat tidak bisa berbuat banyak dengan ditutupnya access untuk memperjuangkan kepentingannya.
Aspek
akuntabilitas memang sangat menentukan keberhasilan partisipasi
masyarakat. Selama tidak ada kewajiban bagi para pejabat atau birokrat untuk
mempertanggung jawabkan keputusan atau perbuatannya kepada publik, maka para
pejabat cenderung mengenyampingkan partisipasi masyarakat melalui partisipasi, berbagai kepentingan publik
dapat diartikulasikan, diagregasikan dan diakomodasikan dalam kebijakan dan
kegiatan publik, sementara melalui mekanisme akuntabilitas publik, apa yang
telah dijanjikan melalui kebijakan dan kegiatan publik itu ditagih
pertanggungjawabannya.
Dan praktek
“kooptasi” di tanah air sering muncul kepermukaan, hanya saja
dikemas sedemikian rupa sehingga sulit dibuktikan atau dilacak. Banyak kelompok
yang seharusnya menyuarakan hati nurani rakyat atau kepentingan masyarakat
sering tidak berani atau tidak lagi gencar malukannya karena telah “mendapat
bagian”, atau “ditutup mulut”nya melalui pemberian sesuatu, atau diiming-imingi
janji tertentu. Praktek kooptasi ini telah melumpuhkan jalannya partisipasi
murni di tanah air kita.
No comments:
Post a Comment