Monday, 30 April 2012

Perkembangan konsep dan Teori New Governance dan perubahan sistem pemerintahan yang demokratis


Perkembangan konsep dan Teori New Governance dan perubahan sistem pemerintahan yang demokratis.
a. Pendekatan partisipatif menjadi idola dalam proses formulasi kebijakan.
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni korelasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan kewenngan dan kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumber daya) publik pada masyarakat. Sedangkan di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan hak politik, kekuatan masa dan kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi menabur pemerintahan yang otoriter dan korup, dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan, atau penguatan peran. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengefektifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.
Makna subtantif yang berikutnya adalah kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja menyangkut kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan resiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan masyarakat melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap resiko-resiko atas tindakan mereka.
Selain itu, pendekatan partisipasi mencakup dengar pendapat terbuka secara ekstensif dengan sejumlah besar warga negara yang mempunyai kepedulian. Oleh karena itu, pendekatan ini lebih merupakan preskripsi untuk desain atau redesain kebijakan atau sebagai suatu pendekatan empirik untuk memahami pembentukan kebijakan atauoun implementasinya.
a.      Dilema atau problema dalam pendekatan partisipasi pada proses kebijakan.
1)      Dilema ukuran, berarti keadaan administrasi negara modern begitu besar dan kompleks. Keterlibatan warga langsung harus mengakomododir berbagai kelompok dan individu. Demokrasi langsung dirumuskan untuk kelompok-kelompok kecil bertemu tatap muka dan operasi di ruang publik yang relatif terbatas.
2)      Dilema kelompok yang dikecualikan atau tertindas, berarti ada beberapa kelompok warga yang dikeluarkan secara sistematis dari demokrasi perwakilan.
3)      Dilema risiko. Banyak teknologi yang kompleks menimbulkan bahaya besar dan resiko terhadap individu, masyarakat, daerah, atau bahkan untuk seluruh planet. 
4)      Dilema teknologi dan keahlian. Warga merasa sulit untuk bersaing dengan profesional dalam hal pengetahuan, informasi, dan keahlian (Drysek dan Torgerson, 1993). Elite administratif dan teknis menggeser kedua warga negara dan wakil-wakil mereka dalam proses partisipatif.
5)      Dilema waktu dan krisis. Kita berada di era krisis mempercepat, keputusan sering harus diambil dengan cepat tanpa melibatkan banyak orang. 
6)      Dilema kebaikan bersama. Penyertaan langsung mungkin tidak benar-benar mencerminkan kepentingan umum. Kepentingan umum tergantung pada musyawarah bukan hanya jaminan kesetaraan politik atau penangkapan opini publik melalui jajak pendapat terbaru.
b.      Lima kondisi yang menentukan partisipasi masyarakat menurut Ventris (2001)
Komunitas, (ukuran, tingkat pendidikan, distribusi penduduk) apabila dikaitkan dengan kenyataan di Indonesia, maka faktor-faktor tesebut memang sangat berpengaruh. Karakteristik masyarakat kita yang sangat variatif (ada yang sudah maju, ada yang belum, ada yang telah terdidik, ada yang masih banyak buta huruf, ada masyarakat yang berbudaya terbuka sementara ada yang tertutup, ada yang melarang tidak boleh protes, tidak boleh berbicara terbuka,dan lain sebagainya). Belum lagi letak fisik atau geografis yang berjauhan seperti kepulauan yang terpencil, keterbatasan alat transportasi, dan sarana komunikasi, tentu memakan biaya yang tidak sedikit. Semua ini jelas menghambat proses partisipasi murni. Karena itu, tidak mengherankan kalau ada daerah yang lebih mudah melaksanakan partisipasi sementara yang lain sebaliknya.
Kompleksitas politik memang merupakan salah satu faktor penentu yang sangat penting. Dominasi partai tertentu seringkali “memobilisasi” massa sebagai wujud partisipasi untuk memenangkan keputusan tertentu bagi golongan tertentu. Banyak pengalaman kita di masa Orde Baru bahkan sampai saat ini juga masih nampak munculnya bentuk partisipasi mobilisasi tersebut. Dominisasi seperti ini telah mempersulit keterwakilan dalam proses partisipasi.
Aspek ekonomi politik yang muncul antara pihak pemerintah dengan masyarakat sering terjadi. Pemerintah sering mendominasi keputusan dengan berbagai alasan, dan mengenyampingkan suara masyarakat dengan berbagai alasan pula. Keterbatasan waktu, biaya, informasi, data, dan tenaga dari pihak pemerintah sering dipakai sebagai alasan utama untuk menolak partisipasi masyarakat, sementara masyarakat tidak bisa berbuat banyak dengan ditutupnya access untuk memperjuangkan kepentingannya.
Aspek akuntabilitas memang sangat menentukan keberhasilan partisipasi masyarakat. Selama tidak ada kewajiban bagi para pejabat atau birokrat untuk mempertanggung jawabkan keputusan atau perbuatannya kepada publik, maka para pejabat cenderung mengenyampingkan partisipasi masyarakat melalui  partisipasi, berbagai kepentingan publik dapat diartikulasikan, diagregasikan dan diakomodasikan dalam kebijakan dan kegiatan publik, sementara melalui mekanisme akuntabilitas publik, apa yang telah dijanjikan melalui kebijakan dan kegiatan publik itu ditagih pertanggungjawabannya.
Dan praktek “kooptasi” di tanah air sering muncul kepermukaan, hanya saja dikemas sedemikian rupa sehingga sulit dibuktikan atau dilacak. Banyak kelompok yang seharusnya menyuarakan hati nurani rakyat atau kepentingan masyarakat sering tidak berani atau tidak lagi gencar malukannya karena telah “mendapat bagian”, atau “ditutup mulut”nya melalui pemberian sesuatu, atau diiming-imingi janji tertentu. Praktek kooptasi ini telah melumpuhkan jalannya partisipasi murni di tanah air kita.

No comments:

Post a Comment